06 Desember 2008

Nonton Film Takva



A Man's Fear of God (Takva)
Goethe Istitute, Jakarta: 5 Des 2008

Sebuah film drama arahan Özer Kiziltan yang diproduksi pada tahun 2006 adalah salah satu film yang diputar di Goethe dalam rangka Jakarta International Film Festival (Jiffest) ke-10, antara 5-9 Desember 2008.  Film yang berdurasi selama 96 menit itu bercerita tentang seorang pengikut Tarekat Qadiriah bernama Muharrem.  Pada dasarnya Muharrem adalah seorang pria yang sangat taat beribadah, bahkan dalam melakukan pekerjaannya sebagai juru tulis sekaligus pramuniaga di toko karung, ia masih sempat mengisi waktu luangnya dengan berzikir, misalnya tatkala menunggu air yang dipanaskan untuk membuat kopi atau teh.

Dengan teratur ia sering mengunjungi dergah Syekhnya untuk mengikuti zikir bersama, zikir yang sangat indah seperti halnya zikir Khatm Khwajagan.  Digambarkan bagaimana suasana zikir yang sangat khidmat: Syekh hadir sebagai pemimpin spiritual bagi murid-murid yang sebagian besar tinggal di dergah tersebut. Kalimat-kalimat seperti Dustur Ya Sayyidi, Ya Ali, Ya Fatima, Ya Husayn, Ya Abdul Qadir Jaylani diucapkan oleh Imam zikir ketika memulai zikirnya, kemudian Syekh memerintahkan untuk membaca Surat al-Fatiha dan diikuti secara serempak membaca selawat dengan suara nyaring: Allahumma shalli 'alaa Sayyidina Muhammad wa 'alaa aali Sayyidina Muhammad SAW, barulah Surat al-Fatiha dibaca dalam hati. Kemudian mulailah dibaca kalimat-kalimat zikir seperti "Bismillaahir rahmaanir rahiim" dan "La ilaha ill-Allah" yang dilakukan bersama-sama dengan suara nyaring dan diiringi tetabuhan khas Turki yang membuat orang menggerakkan tubuhnya ketika berzikir.  Ruangan tempat zikir juga sangat nyaman, beralaskan karpet Turki yang bermotif bunga-bunga, dengan atap yang tinggi dan berbagai ornamen menempel di dinding yang rata-rata berupa kaligrafi.  Tak hanya itu, di bagian belakang juga terdapat 2 tungku untuk menghangatkan ruangan.  Uniknya lagi mereka memakai rompi yang sama persis dengan yang biasa kita pakai.  Begitu juga topi dalamnya (sebelum memakai turban).  

Kembali ke Muharrem, suatu hari Syekhnya menunjuknya sebagai orang yang bertanggung jawab atas penagihan uang sewa properti yang dimilik dergah.  Ya, dergah itu mempunyai 43 properti yang disewakan baik untuk tempat tinggal, toko, dan lain-lain.  Muharrem juga bertanggung jawab untuk membayar tagihan-tagihan dan memperbaiki bila ada kerusakan.  Nah, di sinilah muncul konflik dalam dirinya.  Tampaknya ia belum siap benar menghadapi dunia luar yang sangat berbeda dengan apa yang dipelajari selama ini.  Kadang-kadang ia harus melewati toko yang memajang boneka model yang hanya mengenakan pakaian dalam.  Hal ini kadang-kadang membuatnya berfantasi namun ia merasa bersalah dan dengan segera ia beristighfar.  Ia menjadi resah, karena mimpinya sering datang kembali.  Syekh mengetahui hal ini dan berniat akan mengawinkannya dengan putri keduanya.  Namun ketika seorang asisten Syekh mengutarakan hal itu pada Muharrem, ia menjawab bahwa ia ingin mengabdi pada Syekhnya di dergah itu, dan bukan untuk menikah.  Hal hasil ia semakin gelisah, dan muncul pula masalah-masalah lain yang sebelumnya tak pernah ia pikirkan.  Ia ingin sekali berkonsultasi dengan Syekhnya, namun saat itu Syekh sedang berkhalwat selama 40 hari.  Muharrem takut bahwa Allah SWT telah mengabaikan segala permintaan dan perasaannya.

Sesuai dengan judulnya, Takva (atau takwa dalam bahasa Indonesia), kita dapat melihatnya pada diri Muharrem yang begitu taat beribadah, selalu ingat kepada Allah dan takut bahwa ia telah melakukan hal-hal yang tidak disukai oleh Allah, atau oleh Syekhnya.  Perasaan inilah yang menimbulkan kegelisahan ketika ia harus menghadapi berbagai hal yang sangat berbeda dari kehidupannya sehari-hari.

Salah satu kelebihan film ini adalah begitu banyak adab yang ditunjukkan oleh Muharrem maupun tokoh lainnya.  Lihatlah bagaimana ketika ia bangun tidur langsung berdoa kepada Allah.  Saat ingin memakai rompi atau topi, ia menciumnya dulu dengan bibir lalu dengan keningnya.  Ketika ingin memberikan minuman kepada Syekhnya, ia mencium gelasnya dulu.  Artinya kita ditunjukkan agar menghormati segala sesuatu, termasuk barang-barang yang kita pakai.  Adab lainnya adalah ketika duduk, kaki disilangkan sebelah, ini termasuk sunnah.  Begitu pula ketika berjalan mengikuti Syekhnya, semuanya di belakang mengikuti dengan tertib.  Yang lainnya adalah mengucapkan salam dan doa kepada setiap orang yang dijumpainya, sehingga memperkuat persaudaraan di antara umat Muslim.  

Singkatnya, banyak pelajaran yang diambil dari film ini.

Mengisi form pendaftaran

Sh. Hidayat dan Ibu Waduud, "halaman berapa sih?"

menunggu dengan sabar, sepertinya rombongan Haqqani paling banyak di antara yang lain.

kali ini ngumpulnya di Goethe Institute

Bu Jamiel yang ikut tanpa rencana, sementara Pak Jamiel mengerjakan pekerjaannya di Sekretariat.  "Wah Pak, rompi dan pecinya sama lho..."

mbak Citta, "wah pake khuff-nya Dayat tuh..."

Ibu Hagi, "Dia harus mutusin sendiri, ngga narik sewa atau salah satu murid keluar dari dergah."

Ermita, "Minggu nonton lagi aah..."

Sh.Suriya, "Mirip ngga ya dengan Muharrem?"





Tidak ada komentar: